PERMASALAHAN PENDIDIKAN
DI INDONESIA
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Inovasi Pendidikan
Dosen Pengampu :
Ibu Sri Hartini
Disusun Oleh :
1. Hylda Ajeng Maya sofa A510120162
2. Luthfiah Hidayati A510120188
3. Khoirunissa Mnurlaila F A510120191
4. Desi Puspita Sari A510120199
PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURA
A. Latar
Belakang Masalah
Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara
lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa
indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di
dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998),
dan ke-109 (1999).
Menurut
survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia
berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia
(2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan
ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari
lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai
pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki
abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut
bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah
satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan
terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran
baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan negara lain.
Yang kita
rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik
pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita
membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang
dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh
karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia
yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita
amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan
di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,
baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang
mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di
berbagai bidang.
Kualitas
pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari
20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036
SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,
efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah
pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia
pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan
pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan
dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan
yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “ Permasalahan Pendidikan di Indonesia” ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Pembangunan pendidikan yang sudah dilaksanakan
sejak Indonesia merdeka telah memberikan hasil yang cukup mengagumkan sehingga
secara umum kualitas sumberdaya manusia Indonesia jauh lebih baik. Namun
dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, kita masih ketinggallan jauh, oleh
karena itu, upaya yang lebih aktif perlu ditingkatkan agar bangsa kita tidak
menjadi tamu terasing di Negri sendiri terutama karena terjajah oleh
budaya asing dan terpaksa menari diatas irama gendang irang lain. Upaya untuk
membangun sumber daya manusia yang berdaya saing tinggi, berwawasan iptek,
serta bermoral dan berbudaya bukanlah suatu pekerjaan yang relatif ringan. Hal
ini di sebabkan dunia pendidikan kita masih menghadapi berbagai masalah
internal yang cukup mendasar dan bersifat kompleks. Kita masih menghadapi
sejumlah masalah yang sifatnya berantai sejak jenjang pendidikan dasar
sampai pendidikan tinggi. Rendahnya kualitas pada jenjang sekolah dasar sangat
penting untuk segera diatasi karena sangat berpengaruh terhadap pendidikan
selanjutnya, ada beberapa masalah internal pendidikan yang dihadapi, antara
lain sebagai berikut.
1.
Rendahnya pemerataan kesempatan belajar (equity) disertai
banyaknya peserta didik yang putus sekolah, serta banyaknya lulusan yang tidak
melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal ini identik dengan
ciri-ciri kemiskinan.
2.
Rendahnya mutu akademik terutama penguasaan ilmu
pengetahuan alam (IPA), matematika, serta bahasa terutama bahasa inggris
padahal penguasaan materi tersebut merupakan kunci dalam menguasai dan
mengembangkan iptek.
3.
Rendahnya efisiensi internal karena lamanya masa
studi melampaui waktu standart yang sudah ditentukan.
4.
Rendahnya efisiensi eksternal sistem pendidikan
yang disebut dengan relevansi pendidikan, yang menyebabkan terjadinya
pengangguran tenaga terdidik yang cenderung terus meningkat. Secara empiris
kecenderungan meningkatnya pengangguran tenaga terdidik disebabkan oleh
perkembangan dunia usaha yang masih di dominasi oleh pengusaha besar yang
jumlahnya terbatas dan sangat mengutamakan efisiensi (padat modal dan padat
teknologi). Dengan demikian pertambahan kebutuhan akan tenaga kerja jauh lebuh
kecil dibandingkan pertambahan jumlah lulusan lembaga pendidikan.
5.
Terjadi kecenderungan menurunnya akhlak dan
moral yang menyebabkan lunturnya tanggung jawab dan kesetiakawanan sosial,
seperti terjadinya tawuran pelajar dan kenakalan remaja.
Dalam hal ini pendidikan agama menjadi sangat penting menjadi
landasan akhlak dan moral serta budi pekerti yang luhur perlu diberikan kepada
peserta didik sejak dini. Dengan demikian, hal itu akan menjadi landasan yang
kuat bagi kekokohan moral dan etika setelah terjun ke masyarakat.
Masalah-masalah diatas erat kaitanya dengan kendala seperti keadaan geografis,
demografis, serta sosio-ekonomi besarnya jumlah penduduk yang tersebar
diseluruh wilayah geografis Indinesia cukup luas. Kemiskinan juga merupakan
salah satu kendala yang memiliki hubungan erat dengan masalah pendidikan.
Rendahnya mutu kinerja sistem pendidikan tidak hanya disebabkan oleh adanya
kelemahan menejemen pendidikan tingkat mikro lembaga pendidikan, tetapi karena
juga menejemen pendidikan pada tingkat makro seperti rendahnya efisiensi dan
efektivitas pengolahan sistem pendidikan. Sistem dan dan tata kehidupan
masyarakat tidak kondusif yang turut menentukan rendahnya mutu sistem
pendidikan disekolah yang ada gilirannya menyebabkan rendahnya mutu peserta
didik dan lulusannya. Kebijaksanaan dan progran yang ditujukan untuk mengatasi
berbagai permasalahan di atas, harus di rumuskan secara spesifik karena
fenomena dan penyebab timbulnya masalah juga berbeda-beda di seluruh wilayah
Indonesia.
Sistem pendidikan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan
sosial budaya dan masyarakat sebagai supra sistem. Pembanguana sistem
pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak singkron dengan pembanguanan
nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan
sistem sosial budaya sebagai supra sistem tersebut, dimana sistem pendidikan
menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan
intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya suatu
permasalahan intern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitan dengan
masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu
hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya
dan ekonomi masyarakat disekitarnya, dari mana murid-murid sekolah tersebut
berasal, serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya diluar sistem
persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar tersebut.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah
pendidikan juga sangat kompleks, menyangkut banyak komponen dan melibatkan
banyak pihak. Pada dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia
pendidikan di tanah air kita dewasa ini, yaitu:
1.
Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati
kesempatan pendidikan.
2.
Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta
didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun kedalam kancah
kehidupan bermasyarakat.
Yang pertama mengenai masalah pemerataan, dan yang kedua adalah
masalah mutu, relevansi, dan juga efisiensi pendidikan. Seperti telah
dikemukakan diatas, pada bagian ini akan dibahas empat masalah pokok pendidikan
yang telah menjadi kesempatan nasional yang perlu diprioritaskan
penanggulangannya. Masalah yang dimaksud adalah:
1. Masalah
Pemerataan Pendidikan
Dalam melaksanakan
fungsinya sebagai wahana untuk memanjakan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan
nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pemerataan
pendidikan adalah persoalan bagaiman sistem pendidikan dapat menyediakan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh
pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembanguana sumber daya
manusia untuk menunjang pembangunan.
Masalah pemerataan
pendidikan timbul apabila masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah
yang tidak dapat di tampung dalam sistem atau lembaga pendidikan karena
kurangnya fasilita pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air
kita Undang-Undang No 4 tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan
pengajaran di sekolah. Pada bab XI pasal 17 berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara republik Indonesia mempunyai hak yang
sama diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan
untuk pendidikan dan pengajaarn pada sekolah itu dipenuhi.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI pasal 10
ayat 1 menyatakan: ”semua anak yang berumur 6 tahun berhak dan yang sudah
berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun “ ayat 2
menyatakan: “belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari
menteri agama yang dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Landasan yuridis pemerataan pendidika tersebut penting sekali
artinya, sebagai landasan pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar
ketinggalan kita sebagai akibat penjajahan.
Masalah pemerataan memperoleh pendidikan dipandang penting sebab
jika anak-anak usia sekolah memperoleh kesempatan belajar pada SD, maka mereka
memiliki bekal dasar berupa kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sehingga
mereka dapat mengikuti perkembangan kemajauan melalui berbagai media massa dan
sumber belajar yang tersedia baik mereka itu nantinya berperan sebagai produsen
maupun konsumen. Dengan demikian mereka tidak terbelakang dan menjadi
penghambat pembangunan.
Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam
upaya pemerataan pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat
berpatisipasi dalam pembangunan, maka setelah upaya pemerataan pendidikan
terpenuhi, mulai diperhatikan juga upaya pemerataan mutu pendidikan. Hal ini akan
dibicarakan pada butir tentang masalah mutu pendidikan.
Khusus pendidikan formal atau pendidikan persekolahan yang
berjenjang dan tiap-tiap jenjang memiliki fungsinya masing-masing maupun
kebijaksanaan memperoleh kesempatan pendidikan pada tiap jenjang itu diatur
dengan memperhitungkan faktor-faktor kuantitatif dan kualitatif serta relevansi
yang selalu ditentukan proyeksinya secara terus menerus dengan saksama.
Pada jenjang pendidikan dasar, kebijaksanaan penyediaan memperoleh
kesempatan pendidikan didasarkan atas pertimbangan faktor kuantitatif, karena
kepada seluruh warga Negara perlu di berikan bekal dasar yang sama. Pada
jenjang pendidikan menengah dan terutama pada jenjang pendidikan yang tinggi,
kebijakan pemertaan didasarkan atas pertimbangan kualitatif dan
relevansi, yaitu minat dan kemampuan anak, keperluan, tenaga kerja, dan
keperluan pengembangan masyarakat, kebudayaan, ilmu, dan tekonologi. Agar
tercapai keseimbangan antara faktor minat dengan kesempatan
memperoleh pendidikan, perlu diadakan penerangan yang seluas-luasnya mengenai
bidang-bidang pekerjaan dan keahlian dan persyaratannya yang dibutuhkan dalam
pembangunan utamanya bagi bidang-bidang yang baru dan langka.
Perkembangan upaya pemerataan pendidikan berlangsung terus menerus
dari pelita ke pelita. Didalam Undang-Undang No.2 tahun 1989 tengtang
sistem pendidikan nasional III tentang hak warga Negara untuk memperoleh
pendidikan, pasal 5 menyatakan: ”setiap warga Negara mempunyai hak yang sama
untuk memperoleh pendidikan”. Bahkan dalam pasal 7 mengenai hak telah di
tegaskan sebagai berikut: “penerimaan seorang peserta didik dalam suatu satuan
pendidikan diselenggarakan dengan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku,
ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, dan dengan tetap
mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan.
Perkembangan iptek menawarkan beraneka ragam alternatif model
pendidikan yang dapat memperluas pelayanan kesempatan belajar. Dilihat dari
segi waktu belajarnya bervariasi dari beberapa jam, hari, minggu, bulan, sampai
tahunan, melalui proses tatap muka sampai pada lingkungan alam yang dapat
mendung.
2. Masalah
Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan
dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang
diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga
penghasil sebagai produsen tenagan terhadap calon luaran, dengan sistem
sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tesebut terjun kelapangan kerja penilaian
dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk
kerja. Lazimnya masih dilakukan pelatihan dan pemagangan bagi calon untuk
penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja dilapangan, dan berkarya.
Jadi mutu pendidikan
pada akhirnya dilihat pada kualitas keluaranya. Jika tujuan pendidikan nasioanl
dijadikan kriteria, maka pertanyaanya adalah: apakah keluaran dari sistem
pendidikan menjadikan pribadi yang bertakwa, mandiri, anggota masyarakat yang
sosial yang bertanggung jawab. Dengan kata lain keluaran ini mewujudkan diri
sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun
lingkungannya. Kualitas luaran seperti tersebut adalah nurturant effect.
Meskipun disadari bahwa hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak
semata-mata hasil dari sistem pendidikan itu sendiri. Yang menjadi persoalan
ialah bahwa cara pengukuran mutu produk tersebut tidak mudah. Dan pada umumnya
hanya dengan mengasosiasikan dengan hasil belajar yang sering dikenal dengan
EBTA atau hasil sipenmaru.
Padahal hasil belajar
yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu. Jika
proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar
yang bermutu. Jika tidak terjadi belajar secara optimal akan menghasilkan skor
hasil ujian yang baik maka hampir dapat dipastikan bahwa hasil belajar tersebut
adalah semu. Berarti pokok permasalahan mutu pendidikan lebih terletah pada
masalah pemprosesan pendidikan. Selanjutnya kelancara pemprosesan pendidikan
ditunjang oleh komponen pendidikan yang terdiri dari peserta didik, tenaga
kependidikan, kurikulum, sarana pembelajaran, dan juga masyarakat sekitar.
Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu,
didalam Tap MPR RI tentang GBHN dinyatakan bahwa titik berat pembanguan
pendidikan diletakkan pada peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis
pendidikan, dan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan khususnya untuk memacu
untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu lebih disempurnakan dan
ditingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan alam dan matematika. Umumnya
pendidikan di seluruh tanah air pada umumnya menunjukkan daerah pedesaan lebih
rendah dari daerah perkotaan.[6]
3. Masalah
Efisiensi Pendidikan
Pada hakikatnya masalah
efisiensi adalah masalah pengelolaan pendidikan, terutama dalam pemanfaatan
dana dan sumber daya manusia.
Efesiensi artinya dengan
menggunakan tenaga dan biaya sekecil-kecilnya dapat diperoleh hasil yang
sebesar-besarnya. Jadi, sistem pendidikan yang efesien ialah dengan tenaga dan
dana yang terbatas dapat di hasilkan sejumlah besar lulusan yang berkualitas
tinggi. Oleh sebab itu, keterpaduan pengelolaan pendidikan harus tampak
diantara semua unsur dan unit, baik antar sekolah negeri maupun swasta,
pendidikan sekolah maupun luar sekolah, antara lembaga dan unit jajaran
depertemen pendidikan dan kebudayaan.
Para ahli banyak
mengatakan bahwa sistem pendidiakn sekarang ini masih kurang efisien. Hal ini
tampak dari banyaknya anak yang drop-out, banyak anak yang
belum dapat pelayanan pendidikan, banyak anak yang tinggal kelas, dan kurang
dapat pelayanan yang semestinya bagi anak-anak yang lemah maupun yang luar
biasa cerdas dan genius.
Oleh karena itu, harus
berusaha untuk menemukan cara agar pelaksanaan pendidikan menjadi
efisien.Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem
pendidikn mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan.
Jika penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi.
Beberapa masalah
efisiensi pendidikan yang penting adalah:
a)
Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan
b)
Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan digunakan
c)
Bagaimana pendidikan diselenggarakan
d)
Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.
Masalah ini meliputi
pengangkatan, penempatan, dan pengembanagan tenaga kependidikan. Masalah
pengangkatan terletak pada kesenjanagn antara stok tenaga yang tesedia dengan
jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa 5 tahun terakgir ini jatah
pengangkatan setiap tahunnya hanya sekitar 20 % dari kebutuhan tenaga lapangan.
Sedangkan persediaan tenaga siap di angkat lebih bear daripada kbutuhan di
lapangan. Dengan demikian berarti lebih dari 80% tenaga yang tersedia tidak
segera difungsikan. Ini terjadi kemubadziran yang terselubung, karena biaya
investasi pengadaan tenaga tidak segera terbayar kembali melalui pengabdian.
Dan tenaga kependidikan khususnya guru tidak disiapkan untk berwirausaha.
Masalah penempatan guru,
khususnya guru bidang penempatan studi, sering mengalami kepincanagn, tidak
disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Suatu sekolah menerima guru baru
dalam bidang studi yang sudah cukup atau bahkan sudah kelebihan, sedang guru
bidang studi yang dibutuhkan tidak diberikan karena terbatasnya jatah
pengangkatan sehingga di tempatkan didaerah sekolah-sekolah tertentu seorang
guru bidang studi harus merangkap mengajarkan bidang studi diluar
kewenangannya, meskipun persediaan tenaga yang direncanakan secara makro telah
mencukupi kebutuhan, namun mengalami masalah penempatan karena terbatasnya
jumlah yang dapat diangkat dan sulitnya menjaring tenaga kerja yang tesedia
didaerah terpencil.
Masalah pengembanagan
tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat
menyongsong hadirnya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya
penyesuaian dari para pelaksana lapangan. Dapat dikatakan umumnya penanganan
pengembanagn tenaga pelaksana di lapangan sangat lambat. Padahal proses pembekalan
untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru sangat memakan waktu. Akibatnya
terjadi kesenjangan antara saat di rencanakan berlakunya kurikulum dengan saat
mulai dilaksanakan.dan pendidikan berlangsung kurang efisien dan
efektif.
4. Masalah
Relevansi Pendidikan
Maslah relevensi adalah
masalah yang timbul karena tidak sesuainya sistem pendidikan dengan pembangunan
nasional setara kebutuhan perorangan, keluarga, dan masyarakat, baik dalam
jangka pendek, maupun dalam jangka panjang.
Pendidikan merupakan
faktor penunjang bagi pembangunan ketahanan nasional. Oleh sebab itu, perlu
keterpaduan di dalam perencanaan dan pelaksanaan pendidikan dengan pembangunan
nasional tersebut. Sebagai contoh pendidikan di sekolah harus di rencanakan
berdasarkan kebutuhan nyata dalam gerak pembangunan nasional, serta
memperhatikan ciri-ciri ketenagaan yang di perlukan sesuai dengan keadaan
lingkungan di wilayah-wilayah lingkungan tertentu.
Telah dijelaskan pada
bagian terdahulu bahwa tugas pendidikan ialah menyiapkan sumber daya manusia
untuk pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh
mana sistem pendidikan dapat menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan, yaitu masalah-masalah seperti yang digambarkan dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional.
Luaran pendidikan
diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti
sektor produksi, sektor jasa. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas.
Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan
baik yang aktual maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang
dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.
Sebenarnya kriteria
relevansi seperti yang dinyatakan tersebut cukup ideal jika dikaitkan
dengan kondisi sistem pendidikan pada umumnya dan gambaran tentang pekerjaan
yang ada antara lain sebagai berikut:
a) Status
lembaga pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya.
b) Sistem
pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai. Yang ada ialah siap
kembang.
c) Peta
kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratannya yang dapat digunakan sebagai
pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya tidak
tersedia.
Dari keempat macam
masalah pendidikan tersebut masing-masing dikatakan teratasi jika pendidikan:
a) Dapat menyediakan
kesempatan pemerataan belajar, artinya semua warga Negara yang butuh pendidikan
dapat ditampung daalm suatu satuan pendidikan.
b) Dapat mencapai hasil
yang bermutu artinya: perencanaan, pemprosesan pendidikan dapat mencapai hasil
sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
c) Dapat terlaksana
secara efisien artinya: pemrosesan pendidikan sesuai dengan rancangan dan
tujuan yang ditulis dalam rancangan.
d) Produknya yang bermutu tersebut relevan, artinya: hasil pendiidkan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan pembangunan.
Pada dasarnya
pembangunan dibidang pendidikan tentu menginginkan tercapainya pemerataan
pendidikan dan pendidikan yang bermutu sekaligus. Ada dua faktor yang dapat
dikemukakan sebagai penyebab mengapa pendidikan yang bermutu belum dapat
diusahakan pada saat demikian, yaitu:
Pertama: gerakan perluasan
pendidikan untuk melayani pemerataan kesempatan pendidikan bagi rakyat banyak
memerlukan penghimpunan dan pengerahan dana dan daya.
Kedua: kondisi satuan-satuan pendidikan pada saat
demikian mempersulit upaya peningkatan mutu karena jumlah murid dalam kelas
terlalu banyak, pengerahan tenaga pendidik yang kurang kompeten, kurikulum yang
belum mantap, sarana yang tidak memadai.
Meskipun demikian pemerataan pendidiakn tidak dapat diabaikan
karena upaya tersebut, terutama pada saat suatu bangsa sedang memulai membangun
mempunyai tujuan ganda, yaitu disamping tujuan politis juga tujuan pembanguan
yaitu memberikan bekal dasar kepada warga Negara agar dapat menerima informasi
dan memiliki pengetahuan dasar untuk mengembangkan diri sehingga dapat
perpatisipasi dalam pembanguanan.
Dalam uraian tersebut tampak bahwa masalah pemerataan berkaitan
erat dengan masalah mutu pendidikan. Bertolak dari gambaran tersebut terlihat
juga kaitannya dengan masalah efisiensi. Karena kondisi pelaksanaan pendidikan
tidak sempurna, maka dengan sendirinya pelaksanaan pendidikan dan khususnya
proses pembelajaran berlangsung tidak efisien. Hasil pendidikan belum dapat
diharapkan relevan dengan kebutuhan masyarakat pembangunan, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif.
3. Solusi
Pemecahan Problematika Pendidikan di Indonesia
1. Solusi Masalah Pemerataan
Pendidikan
Banyak macam
pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
langkah-langkah ditempuh melalui cara konvesional dan cara inovatif.
Cara konvesional antara lain:
a) Membangun gedung sekolah seperti SD inpres dan
atau ruangan belajar.
b) Menggunakan gedung sekolah untuk double shift
(sistem bergantian pagi dan sore).
Sehubungan dengan itu
yang perlu digalakkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan
kemauan belajar bagi masyarakat yang kurang mampu agar mau menyekolahkan
anaknya.
Cara Inovatif antara lain:
Sistem pamong
(pendidikan oleh masyarakat, orang tua, dan guru) atau inpact sistem, sistem
tersebut dirintis di solo dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
a) SD kecil
pada daerah terpencil
b) Sistem
guru kunjung
c) SMP
terbuka
d) Kejar
paket A dan b
e) Belajar jarak jauh, seperti di universitas terbuka.
2. Solusi
Masalah Mutu, Efisiensi dan Relevansi Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap
jenis dan jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada
dasarnya pemecahan masalah mutu pendiidkan bersasaran pada perbaikkan kualitas
komponen pendidikan serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut
pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan
pengalaman belajar peserta didik, dan menghasilkan hasil pendidikan.
Upaya pemecahan masalah
masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat
sebagai fisik dan lunak, personalia, dan manajemen. Sebagai berikut:
a) Seleksi
yanglebih rasional terhadap masukan mentah, khususnay untuk Slta dan PT.
b)
Pengembanagn kemanpuan tenaga kependidikan melalui studi lanjut.
c)
Penyempurnaaan kurikulum
d) Pengembanagan prasarana yang menciptakan
lingkungan yang tenteram untuk belajar
e)
Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran
f)
Peniungkatan adminisrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran
g) Kegiatan pengendalian mutu.
4. Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan
Permasalahan pokok
pendidikan sebagaimana telah diutarakan diatas merupakan masalah pembangunan
mikro, yaitu masalah-masalah yang berlangsung di dalam sistem pendidikan
sendiri. Masalah mikro tersebut berkaitan dengan masalah makro pembangunan,
yaitu masalah di luar sistem pendidikan, sehingga harus diperhitungkan dalam
memecahkan masalah mikro pendidikan. Masalah makro ini meliputi masalah
perkembangan internasional, masalah demografi, masalah politik, ekonomi, dan
sosial budaya, serta masalah perkembangan regional. Masalah-masalah makro yang
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan,
yaitu:
1.
Perkembangan Iptek Dan Seni
A.
Perkembangan Iptek
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dan iptek (ilmu pengetahuan
dan teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan
terorganisasi mengenai alam semesta , dan teknologi adalah penerapan yang
direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Sebagai contoh hubungan antara pendidikan dan iptek, misalnya sering suatu
teknologi baru yang digunakan suatu proses produksi menimbulkan kondisi ekonomi
sosial baru lantaran perubahan persyaratan kerj, dan mungkin juga penguraian
jumlahtenaga kerja atau jam kerja, kebutuhan bahan-bahan baru, sistem pelayanan
baru, sampai pada berkembangnya gaya hidup baru, kondisi tersebut minimal bisa
mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan metodenya, bahkan mungkin rumusan
baru tunjangan pendidikan, otomatis juga sarana sarana penunjangnya seperti
sarana laboratorium dan ketenangan.
Semua perubahan tersebut tentu juga membaw masalah dalam skala
nasional yang tidak sedikit memakan biaya. Contoh di atas memberikan gambaran
pengaruh tidak langsung iptek terhadap sistem pendidikan. Di samping pengaruh
tidak langsung juga banyak pengaruh yang langsung dalam sistem pendidikan dalam
bentuk berbagai macam inovasi atau pembaruan dengan aksentuasi tujuan yang
bermacam-macam pula. Ada yang bertujuan untuk mengatasi kekurangan guru dan
gedung sekolah seperti sistem Pamong dan SMP terbuka, pengadaan guru relatif
cepat seperti dengan program diploma, perlindungan terhadap profesi guru
seperti program akta mengajar. Hampir setiap inovasi mengundang masalah.
Pertama, karena belum ada jaminan bahwa inovasi itu pasti
membawa hasil. Kedua, pada dasarnya orang merasa ragu
dan gusar jika menghadapi hal baru. Masalahnya ialah bagaimana cara
memperkenalkan suatu inovasi agar orang menerimanya. Setiap inovasi mengandung
dua aspek yaitu aspek konsepsional (memuat ide, cita-cita, dan prinsip-prinsip)
dan aspek struktur operasional (teknik pelaksanaannya).
1. Perkembangan Seni
Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual
ataupun kelompok yang menghasilkan sesuatu yamg indah. Melalui kesenian manusia
dapat menyalurkan dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan
tiruan) dan dorongan spontanitas dalam menemukan keindahan. Dilihat dari segi
tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian
mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan afektif
khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan disamping
domain kognitif yang sudah digarap melalui program /bidang studi yang lain.
Dilihat dari segi lapangan kerja, dewasa ini dunia seni dengan segenap
cabangnya telah mengalami perkembangan pesat dan semakin mendapat tempat dalam
kehidupan masyarakat.
2. Laju
Pertumbuhan Penduduk.
Masalah kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu:
1.
Pertambahan Penduduk.
Dengan bertambahnya
jumlah penduduk maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta
komponen penunjang terselenggaranya pendidikan harus di tambah. Dan ini berarti
beban pembangunan nasional menjadi bertambah.
Pertumbuhan penduduk
yang dibarengi dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian,
mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia
sekolah dasar menurun, sedangkan proporsi penduduk usia sekolah lanjutan,
angkatan kerja, dan penduduk usia tua meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan
kesehatan. Dengan demikian terjadi pergesaran permintaan akan fasilitas
pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan cenderung lebih meningkat dibanding
dengan permintaan akan fasilitas sekolah dasar. Sebagai akibat lanjutan, permintaan
untuk lanjutan keperguruan tinggi juga meningkat, khusus untuk penduduk usia
tua yang jumlahnya meningkat perlu disediakan pendidikan non formal.
2.
Penyebaran Penduduk
Penyebaran penduduk diseluruh pelosok tanah air tidak merata. Ada
daerah yang padat penduduk, terutama di kota-kota besar dan daerah yang
penduduknya jarang yaitu daerah pedalaman khususnya di daerah terpencil
yangberlokasi di pegunungan dan di pulau-pulau. Sebaran penduduk seperti
digambarkan itu menimbulkan kesulitan dalam penyediaan sarana pendidikan.
Sebagai contoh adalah dibangunya SD kecil untuk melayani kebutuhan akan
pendidikan di daerah terpencil pada pelita V, di samping SD yang reguler. Belum
lagi kesulitan dalam hal penyediaan dan penempatan guru.
3. Aspirasi
Masyarakat
Dalam dua dasa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak
hal meningkat, khususnya aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi
terhadap pekerjaan, kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap
pendidikan. Pendidikan dianggap memberi jaminan bagi peningkatan taraf hidup
dan pendakian ditangga sosial. Gejala yang timbul ialah membanjirnya
pelamar pada sekolah-sekolah. Arus pelajar menjadi meningkat. Di kota-kota , di
samping pendidikan formal mulai bermunculan beraneka ragam pendidikan
nonformal. Beberapa hal yang tidak dikehendaki antara lain ialah seleksi
penerimaan siswa pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan menjadi kurang
objektif, jumlah murid dan siswa perkelas melebihi yang semestinya, jumlah
kelas setiap sekolah membengkak , diadakannya kesempatan belajar bergilir pagi
dan sore dengan pengurangan jam belajar, kurang sarana belajar, kekurangan
guru, dan seterusnya. Keterbelakangan budaya adalah istilah yang diberikan oleh
sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat
lain pendukung suatu budaya . bagi masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya
pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik.
4. Keterbelakangan
Budaya Dan Sarana Kehidupan.
Keterbelakangan budaya
adalah istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap
dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung suatu budaya. Bagi
masyarakat pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang
bernilai dan baik. Sesungguhnya tidak ada kebudayaan yang secara mutlak statis,
apalagi mandeg, tidak mengalami perubahan. Sekurang-kurangnya bagian
unsur-unsurnya yang berubah jika tidak seluruhnya secara utuh. Perubahan
kebudayaan terjadi karena ada penemuan baru dari luar maupun dari dalam
lingkungan masyarakat sendiri. Kebudayaan baru itu baik bersifat material
seoerti peralatan-peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi,
telekomunikasi, dan yang bersifat non matreial seperti paham atau konsep baru
tentang keluarga berencana, budaya menabung, penghargaan terhadap waktu, dan
lain-lain. Keterbelakangan budaya terjadi karena:
a) Letak
geografis tempat tinggal suatu masyarakat (misal terpencil)
b)
Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur budata baru karena tidak dipahami
atau karena dikhawatirkan akan merusak sendik masyarakat.
c) Ketidakmampuan
masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan
dengan faktor penyebab terjadinya keterbelakangan budaya umumnya dialami oleh:
a)
Masyarakat daerah terpencil.
b)
Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis.
c)
Masyarakat yang kurang terdidik.
Yang menjadi masalah
ialah bahwa kelompok masyarakat yang terbelakang budayanya tidak ikut berperan
serta dalam pembangunanmsebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi
inti permasalahannya ialah menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, dan
bagaimana cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan
dapat melibatkan mereka. Jika sistem pendidikan dapat menggapai masyarakat
terbelakang kebudayaanya berarti melibatkan mereka untuk berperan serta dalam
pembangunan.
BAB III
PENUTUP
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di
bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang
menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi
pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi
penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan
guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan
pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi
pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan,
dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
DAFTAR PUSTAKA
http://abraham4544.wordpress.com/umum/problematika-pendidikan-di-indonesia/ (Diakses pada tanggal 3 Juni 2014 pukul 20.04
WIB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar